Keluarga juga berperan besar dalam pembentukan karakter dan perilaku individu. Meskipun lingkungan di luar keluarga juga dapat mempengaruhi sifat individu, namun keluarga tetap menjadi tempat utama dimana individu diajarkan tentang nilai dan norma, termasuk juga kekerasan. Menurut Social Learning Theory yang dikemukakan Bandura, anak dapat meniru perilaku kekerasan yang didapat dari orangtuanya meskipun tidak ada reinforcement berupa reward dan punishment. Dengan demikian, perilaku komunikasi yang diterapkan oleh orangtua kelak akan diterapkan juga oleh anak dalam berkomunikasi.
Komunikasi merupakan hal yang penting untuk mempererat hubungan keluarga. Komunikasi yang baik akan membuat keluarga lebih kuat dan harmonis. Namun tidak jarang komunikasi yang sarat dengan kekerasan terjadi di dalam keluarga. Kekerasan disini tidak selalu berupa makian yang berisi “kebun binatang” atau kata-kata yang tidak baik. Kalimat teguran, kritik, sindiran, pengancaman berlebihan, atau bahkan pujian yang menyakiti anak sudah merupakan komunikasi dengan kekerasan. Kalimat seperti “baju kamu ga matching!”, “kamu akan mama pukul kalau makananmu tidak habis”, atau “wah tumben sekali kamu bangun pagi!” adalah salah satu contoh komunikasi dengan kekerasan.
Komunikasi tanpa kekerasan akan memupuk penghormatan, perhatian dan empati, serta memunculkan keinginan bersama (mutual desire) untuk memberi dari hati. Komunikasi tanpa kekerasan mampu memperkuat kemampuan kita untuk meraih inspirasi bela rasa dari orang lain dan merespons secara bela rasa kepada orang lain dan kepada diri kita sendiri. Komunikasi tanpa kekerasan juga membimbing kita untuk menyusun kembali kerangka tentang bagaimana kita mengungkapkan diri kita dan mendengarkan orang lain dengan mengarahkan perhatian kita terhadap apa yang sedang kita cermati, rasakan, butuhkan dan inginkan.
Menurut Marshall B. Rosenberg, PhD., kekerasan dalam bentuk apapun adalah ekspresi tragis kebutuhan kita yang tak terpenuhi. Komunikasi dengan kekerasan tentunya akan berdampak buruk pada anak. Anak akan menjadi orang yang terbiasa berpikir negatif. Teguran yang ia dapatkan akan membuatnya merasa tidak disayang, sedangkan pujian yang diberikan bisa dianggap sebagai suatu sindirian. Selain itu, komunikasi dengan kekerasan akan membuat anak tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pendapatnya. Anak bisa menjadi pasif, tertutup, atau bahkan tidak berani mencoba hal baru karena takut salah. Hubungan anak dan orangtua pun menjandi renggang karena hal-hal tersebut.
Tentunya komunikasi verbal juga harus diimbangi dengan komunikasi non verbal yang yang sesuai. Contohnya dengan memberikan pujian dengan sentuhan atau pelukan ringan, menyatakan rasa sayang dengan intonasi yang baik, atau memberi perintah dengan volume suara yang tepat.
Hal paling mudah untuk menghindari tindakan komunikasi dengan kekerasan adalah dengan belajar untuk tidak mengatakan “tidak” dan “jangan”. Katakanlah apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita tidak inginkan. Demikian juga apabila kita hendak meminta sesuatu pada seseorang, katakanlah apa yang kita inginkan untuk dilakukan orang itu, bukan apa yang kita tidak inginkan untuk dilakukan orang tersebut. Selain itu, alih-alih menyuruh seseorang menjadi seperti yang kita inginkan, alangkah lebih baik apabila kita meminta orang tersebut untuk melakukan hal-hal yang pada akhirnya akan membantunya untuk menjadi seperti yang kita inginkan.
Dengan terbinanya komunikasi tanpa kekerasan di dalam keluarga, niscaya anak akan memiliki kepribadian dan karakter yang baik. Anak akan menjadi lebih mudah diajak bekerjasama. Selain itu anak menjadi tidak akan segan bercerita kepada orangtuanya dan mendiskusikan masalah yang dihadapinya, dengan demikian orangtua pun akan lebih mudah dalam melakukan kontrol dan pengawasan terhadap anak-anaknya.
http://childrengarden.wordpress.com/2010/01/19/komunikasi-pada-anak/