Jumat, 30 April 2010

Lombok

Pulau lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara, yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Ibu kotanya adalah kota Mataram. Sekitar 80% penduduk pulau Lombok adalah suku Sasak dan menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Kerajaan tertua yang pernah berkuasa di pulau ini bernama Kerajaan Laeq namun sumber lain, yakni Babad Suwung, menyatakan bahwa kerajaan tertua yang ada di Lombok adalah Kerajaan Suwung.

Sebagian besar penduduk Lombok memeluk agama islam. Agama kedua terbesar yang dianut di pulau ini adalah agama Hindu. Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.

Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik. Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak.

Akulturasi budaya juga terlihat dalam agama wetu telu. Kelompok penganut agama sinkretisme islam, hindu dan animisme. Tidak seperti agama Islam pada umumnya, penganut wetu telu hanya melakukan shalat wajib sebanyak tiga kali sehari. Penganut Wetu Telu mayoritas berdiam di Kampung Bayan, tempat di mana agama itu dilahirkan. Golongan besar Wetu Telu juga boleh didapati di Mataram, Pujung, Sengkol, Rambitan, Sade, Tetebatu, Bumbung, Sembalun, Senaru, Loyok dan Pasugulan

Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M. Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.

Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno. Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali. Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.

Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam. Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya,
Turun Taun Leq Gedong Sari
Mumbul Katon Suarge Mulie
Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari
Sarin Merta Sarin Sedana

yang intinya kira-kira bermakna "semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan". Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.
Kelebihan Lombok bukan hanya dari keindahan alamnya, tapi juga dari sarana transportasi untuk menuju kesana yang relatif mudah, murah dan banyak alternatif. Setiap Sabtu malam atau hari-hari libur, tanjung Senggigi (sebuah bukit yang menjorok ke laut) dijadikan sebagai tempat rendezvous (tenpat berkumpul anak-anak muda dari seluruh pelosok Lombok).

Di pulau Lombok terdapat perkampungan suku Sasak yang masih mengadopsi kondisi seperti suku Sasak jaman dahulu untuk semua komponen yang berada di perkampungan. Perkampungan yang terdapat di dusun Sade (35 km dari Mataram) ini disebut juga ‘Sasak Village’, mungkin untuk menarik wisatawan mancanegara agar lebih penasaran dengan kehidupan asli suku Sasak, karena kecenderangan wisatawan domestik jarang yang tertarik dengan budaya-budaya lokal.


Perkampungan ini berada di perbukitan. Pertama kali memasuki perkampungan Sasak akan terlihat keunikan dari suku ini seperti rumah adatnya yang atapnya terbuat dari jerami dan dindingnya dari bambu. Bentuk atapnya juga sangat unik dengan atap yang agak ditinggikan sehingga berbentuk seperti piramida. Desain atap paling unik terutama di lumbung padinya, yang atapnya lebih tinggi lagi, dan desain atap lumbung inilah yang dipakai oleh bangunan-bangunan yang ada di pulau Lombok seperti bandara, perkantoran, restoran serta hotel atau villa-villa.

Keunikan rumah adat lombok tidak hanya itu saja. Rumah tradisional suku Sasak dibuat dari kotoran kerbau yang dicampur pasir, kelapa serta tanah, sedangkan atapnya dari ijuk. Uniknya, karena kotoran kerbau itulah nyamuk tidak mau masuk. Bangunan pun menjadi lebih kuat dan tidak mudah retak. Setiap dua minggu sekali, lantai dan tembok masih dipel dengan air dan kotoran kerbau untuk mengatasi debu akibat hawa kering. Anak perempuan mendapat kamar khusus di bagian dalam rumah yang menyerupai panggung, lalu disebelahnya ada dapur. Kamar orangtua langsung bertemu dengan pintu keluar (di lantai bawah). Anak lelaki tidak memiliki kamar khusus, mereka tidur di langgar/masjid. Ruangan rumah sasak hanya 3 ( Kamar bagian dalam, Ruang tengah yang difungsikan sebagai dapur juga, ruang depan sebagai penerima tamu), dan dibagian dalam rumah tidak ditemui ventilasi udara.

Dalam membangun rumah, masyarakat Sasak mempunyai perhitungan yang cermat tentang waktu, hari, tanggal, dan bulan yang baik untuk memulai pembangunannya. Untuk mencari waktu yang tepat, mereka berpedoman pada papan warige yang berasal dari primbon tapel adam dan tajul muluq. Oleh karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adapt. Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ke-3 dan ke-12 penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangakn bulan yang paling dihindari untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadhan. Pada kedua bulan tersebut, menurut kepercayaan masyarakat setempata, rumah yang dibangun akan cenderung mengundang malapetka seperti penyakit, kebakaran, sulit rizki, dsb.

Selain persoalan waktu, baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selktif dalam menentukan lokasi pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik bagi yang mendiaminya. Misalnya, mereka tidak akan membangun rumah diatas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate (susur gubug). Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget). Ada beberapa tanaman yang dipercaya mengundang malapetaka jika ditanam di sekitar rumah adat. Antara lain
1. lolon nangke (pohon nangka)
Pohon nangka dianggap sebagai pohon yang agung, sehingga harus berada di atas. Apabila ditaruh di dekat rumah, akarnya akan masuk ke dalam pondasi rumah (berada di rumah). Bila hal itu terjadi, pemilik rumah akan menderita pegal linu
2. lolon saho (pohon sawo)
bila ditanam dekat rumah, akan menimbulkan disharmoni di dalam rumah tangga, bahkan berakhir perceraian.
3. nyambuq aer (jambu air)
pohon jambu air akan mengundang anak-anak untuk memanjatnya, sehingga anak tersebut berada pada posisi lebih tinggi daripada orangtuanya. Hal ini dianggap kurang sopan, dan anak tersebut akan kualat
4. lolon kelor (pohon kelor)
bila pohon kelor berada di dekat rumah dukun, maka matera dukun tersebut tidak akan bertuah.
5. kedondon (kedondong)
pohon ini diyakini akan membawa malapetaka bagi hewan peliharaan dan ternak rumah tersebut
6. cereni (ceremai/ceremen)
pohon ini diyakini memiliki racun. Oleh karena itu harus dijauhkan dari rumah atau lokasi pemukiman
7. lolon johar (pohon johar)
dianggap memiliki gravitasi tinggi sehingga mampu mempengaruhi jiwa manusia. Pohon ini diyakini akan menciutkan nyali orang yang memeliharanya.
8. lolon bile (pohon maja)
diyakini pohon ini akan menyebabkan sering terjadinya perkelahian antar sesame penghuni kampong/gubug.

Nyongkolan merupakan tradisi masyarakat Lombok ketika pasangan pengantin dengan menggunakan baju pengantin diarak menuju tempat orangtua pengantin perempuan sambil berjalan kaki. Sebelum masuk pelaminan, pemuda Lombok biasa ‘menculik’ anak gadis yang disukainya. Jika orangtua si gadis setuju dengan pemuda yang akan menikahi anaknya, ia akan memberi tanda dengan cara membasuh kaki pemuda tersebut dengan air sirop atau air kelapa. Sementara jika ia tidak setuju disimbolisasikan dengan membasuh menggunakan air tajin (air nanakan beras). Jika orangtua gadis tersebut menolak tetapi si pemuda tetap ngotot untuk menikahinya, orangtua si gadis biasanya menetapkan mahar yang tinggi untuk melepas anaknya. Ini sebagai jaminan agar anaknya diperlakukan secara baik. Sebelum bisa dilamar, seorang perempuan harus menyelesaikan 3 kain tenunan terlebih dahulu.

Di daerah Sukarara, wanita-wanita suku Sasak mengais kehidupan dengan kemampuan seni, yaitu menenun kain. Sejak abad 16, para wanita di desa ini diharuskan belajar menenun dan keahlian ini diajarkan turun temurun. Mereka menggunakan material serta peralatan yang sederhana dan sangat tradisional. Jika seorang wanita tidak bisa menenun, maka mereka tidak akan dicintai oleh pria. Makna inilah tampaknya yang mendorong para wanita di desa itu mau tidak mau harus pandai menenun.

Dalam pergaulan dengan lawan jenis, dikalangan wanita Lombok terutama remajanya juga dikenal istilah ‘pandai menipu’. Maksudnya, wanita Lombok dikenal memiliki banyak pacar, karena itu ia harus pandai-pandai menyiasati diri agar tidak ketahuan oleh pacar lelakinya yang lain. Malah ada anggapan kalau pacarnya hanya satu berarti tidak laku dan tidak dihormati.

Penduduk di desa Lembah Sembalun, di lereng Gunung Rinjani, mempunya kebiasaan yaitu tidak boleh berkunjung ke rumah tetangga atau siapa pun diatas jam sebelas malam. Namun hukumannya masih bersifat kekeluargaan, berupa peringatan secara lisan bila pertama kali berbuat. Apabila melakukan kesalahan lagi dihukum dengan sangsi gotong royong. Bila masih melanggar, dihukum dengan cara direndam di kolam. Kebiasaan lain, penduduk menganggap sapi sebagai hewan yang istimewa. Mereka menganggap sapi adalah bank hidup mereka. Mereka juga biasa menandai sapi milik masing-masing dengan membuat sayatan di kuping sapi mereka.

0 komentar:

Posting Komentar